Karma Pariwisata: Ketika Bali Dikepung Bisnis Asing dan Rakyat Tersisih
Pulau Dewata yang selama ini dikenal sebagai surga wisata dunia, kini tengah menghadapi ironi yang menyakitkan. Di balik gemerlap resor mewah, beach club bertaraf internasional, dan restoran elit nan Instagramable, tersembunyi kenyataan pahit: masyarakat lokal kian tersisih dari tanahnya sendiri.
Gelombang investasi asing yang terus berdatangan tak hanya mengubah lanskap alam Bali, tapi juga mulai menggoyang akar budaya, ekonomi, bahkan identitas lokal. Inilah yang oleh sebagian warga disebut sebagai “karma pariwisata” – balasan dari pembangunan yang terlalu mengejar profit, namun abai terhadap keberlanjutan dan kesejahteraan rakyatnya.
Serbuan Bisnis Asing di Tanah Leluhur
Dalam dua dekade terakhir, banyak wilayah strategis di Bali — seperti Canggu, Uluwatu, hingga Nusa Penida — telah berubah wajah. Tanah-tanah adat dijual, disengketakan, atau dijadikan komoditas investasi oleh pihak luar. Tak sedikit di antaranya yang kini dikuasai investor asing melalui skema sewa jangka panjang atau peminjaman nama (nominee) — praktik yang kerap disalahgunakan untuk mengakali hukum kepemilikan tanah.
“Dulu saya bisa lihat sawah dari rumah. Sekarang yang terlihat cuma vila-vila asing dan pagar beton tinggi,” ujar I Ketut S., warga lokal di Badung yang lahannya terjepit antara dua properti milik ekspatriat.
Yang lebih mengkhawatirkan, banyak bisnis asing di Bali berjalan tanpa kontribusi nyata terhadap ekonomi lokal. Sebagian besar keuntungan dibawa ke luar negeri, sementara masyarakat sekitar hanya mendapat peran sebagai pekerja rendahan, atau bahkan tersingkir dari kompetisi ekonomi.
Dosa Lama Pariwisata yang Terus Diulang
Model pariwisata massal yang dibangun sejak era 1980-an memang memberi Bali sorotan dunia. Tapi seiring waktu, ketergantungan pada pariwisata menjadi pedang bermata dua. Ketika pandemi menghantam, jutaan warga Bali kehilangan sumber penghidupan — karena hampir seluruh ekonomi mereka berputar pada sektor wisata.
Kini, ketika pariwisata bangkit kembali, ancaman baru muncul: komersialisasi tanpa batas oleh pihak luar. Pemerintah seolah terlambat menyadari bahwa Bali bukan sekadar produk untuk dijual, tapi warisan budaya dan lingkungan hidup yang harus dijaga.
“Ini bukan lagi soal investor asing atau lokal. Ini soal siapa yang peduli pada Bali sebagai rumah, bukan sekadar tempat singgah mencari untung,” ujar Made Rai, akademisi dan pemerhati budaya Bali.
Warga Lokal Menjadi Penonton
Ironisnya, banyak anak muda Bali kini kesulitan memiliki rumah atau tanah karena harga properti melonjak tinggi akibat spekulasi pasar. Banyak pula yang beralih profesi menjadi buruh digital untuk pemilik usaha asing yang tinggal di vila-vila tersembunyi namun beroperasi bebas sebagai ‘kantor’ virtual tanpa izin.
Masyarakat adat yang dulu jadi penjaga spiritualitas dan keharmonisan alam kini kerap berada di posisi terpinggirkan. Upacara adat harus bersaing dengan pesta privat, suara gamelan kalah oleh dentuman musik elektronik.
Saatnya Menyusun Ulang Arah
Pemerintah daerah dan pusat kini menghadapi tantangan besar: bagaimana membangun kembali Bali yang berdaulat secara budaya, adil secara ekonomi, dan lestari secara lingkungan.
Langkah-langkah seperti moratorium vila baru, pajak pariwisata untuk turis asing, serta regulasi ketat terhadap kepemilikan dan investasi asing mulai digodok. Tapi tanpa kesadaran kolektif — baik dari pemerintah, investor, maupun masyarakat sendiri — harapan itu bisa tinggal wacana.
Bali telah memberi banyak kepada dunia: keindahan, keramahan, dan pelajaran tentang harmoni. Namun kini, Pulau Dewata butuh perlindungan dari eksploitasi yang tak terkendali. Jika tidak, “karma pariwisata” bukan sekadar istilah, tapi luka panjang yang diwariskan ke generasi berikutnya. Saatnya bertanya: apakah kita ingin Bali tetap jadi rumah, atau sekadar etalase bisnis global?